Seorang manusia dapat dinilai kecerdasannya dari pilihannya. Orang yang cerdas memilih sesuatu dengan alasan yang tepat. Orang yang bodoh pandangannya lemah, sehingga baginya beberapa pilihan yang ada di depannya adalah hal yang sama, yang membedakan hanya keinginan pribadi, hanya kecenderungan nafsu.
Setiap orang yang berakal sehat tentunya ketika dihadapkan antara dua pilihan, yang satu sedikit, kurang bermanfaat, hanya sebentar dan kemudian hilang, kenikmatannya pun diselubungi kekhawatiran. Sedang yang satu lagi, lebih besar kuantitasnya, lebih berbobot manfaatnya, murni, tanpa perlu khawatir akan sesuatu, dan senantiasa abadi. Tentu tanpa ragu lagi, pilihan yang terakhir inilah yang akan diambil. Ini yang membedakan manusia dengan binatang, bahkan binatangpun mengerti, -walaupun sedikit- mana yang bermanfaat baginya, mana yang membawa bencana.
Sekarang coba bayangkan, ada sebuah istana besar yang akan dihuni selama seratus tahun, megah, seluas mata memandang, di sana kebun yang hijau, selalu teraliri air segar dari sungai, taman-tamannya selalu indah, begitu juga pohon-pohonnya. Gemerlap cahaya disana-sini, harum bunga-bunga yang tumbuh di tamannya. Lengkap dengan para pelayan yang ramah dan menurut. Selalu aman di setiap jengkal tanahnya. Dan tidak perlu lagi ditanya, berapa banyak harta yang ada di dalam istana itu. Hanya saja, untuk sampai ke sana, harus ditempuh dengan perjalanan seharian penuh, dengan rute perjalanan yang agak berat di beberapa tempat, tapi tidak semuanya.
Sekarang kembali bayangkan sebuah perjalanan, sama-sama seharian penuh, perjalanan ini melewati tanah lapang yang luas dan indah, tapi ada juga hal - hal yang mengerikan di tanah lapang itu . Kemudian di sana ada juga pohon lebat yang nyaman untuk berteduh, tapi hati-hati, jika lengah bisa - bisa bekal perjalanan akan lenyap diambil orang. Lalu selesai dari perjalanan ini, sampailah pada tujuan akhir perjalanan. Apa yang ada pada ujung perjalanan ini? Ternyata hanya sepetak rumah, sempit, bernafas saja susah. Rumah yang isinya kesengsaraan, selalu membuat gelisah. Gubuk derita inilah yang akan jadi tempat tinggal selama seratus tahun.
Nah, bayangkan orang bodoh yang model apa yang masih mau memilih rute perjalanan kedua dibanding yang pertama? Apa ada orang masih punya akal yang mau memilih, kenikmatan yang biasa-biasa saja, dan hanya sehari, lalu sengsara seratus tahun, dengan kerja keras sehari penuh setelah itu kenikmatan seratus tahun. Beginilah =setidaknya= gambaran, orang yang masih memilih kehidupan dunia yang pasti berlalu ini dibandingkan dengan akhirat padahal ia tahu konsekuensinya. Sekarang bagaimana kalau kenikmatan itu hanya sekejap saat, kemudian berlalu, dibandingkan dengan kenikmatan abadi yang tiada berakhir? Ini jika ia masih yakin akan kehidupan akhirat, tapi kalau ia masih ragu dan bimbang, bencananya lebih besar lagi.Na’udzubillahi min dzaalik